Langsung ke konten utama

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah


Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian? Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri.

Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure

    Sebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan kehidupan kita. Tercermin dari kehidupan bermasyarakat yang tercipta dari awal leluhur kita, yaitu membentuk kelompok dan membagi tugas di dalam kelompok tersebut adalah cikal bakal kehidupan bermasyarakat yang sedemikian kompleks saat ini. Dari kelompok-kelompok masyarakat yang ada, sebagai manusia yang tergabung di dalamnya timbul perasaan-perasaan untuk menegaskan diri bahwa kita adalah bagian dari kelompok tertentu atau perasaan tidak ingin berbeda dari yang lain. Terkadang, dari perasaan tersebut, timbullah tingkah laku yang disebut dengan konformitas sosial.

                                Ilustrasi - Tawuran antara pelajar di Jakarta/Antara

Konformitas sosial adalah proses di mana tingkah laku seseorang terpengaruh atau dipengaruhi oleh orang lain di dalam suatu kelompok. Cara seseorang terpengaruh ada bermacam-macam, ada yang secara langsung ataupun tidak langsung. Memakai sepatu berwarna hitam karena ada teguran dari teman kelompok adalah contoh pengaruh langsung sedangkan memakai sepatu berwarna hitam karena semua teman kelompok memakai sepatu berwarna hitam adalah pengaruh tidak langsung yang menyebabkan seseorang melakukan konformitas[1].

Menurut Herbert Kelman, seorang Psikolog dari Harvard University, bentuk dari konformitas dibagi menjadi 3 macam,[2] yaitu:
1. Identifikasi; saat seseorang meniru tokoh yang diidolakan, seperti ayah atau artis.
2. Internalisasi; Internalisasi muncul pada saat standar sosial yang jelas ambigu. Sebagai contoh, Dodi dan teman sekelasnya ditugaskan untuk membuat tugas oleh guru, tetapi tidak ada yang tahu apakah tugas tersebut dikumpulkan esok hari atau minggu depan. Karena situasinya ambigu, Dodi bertanya-tanya pada teman sekelasnya, dan rata-rata dari mereka akan mengumpulkan tugasnya minggu depan. Karena mendengar hal tersebut, Dodi pun ikut mengumpulkan tugas tersebut minggu depan, tanpa peduli mana yang benar.
3. Compliance; mengacu pada ‘tindakan sebagai suatu respon positif pada suatu permintaan yang baik secara eksplisit maupun implisit diberikan oleh orang lain’. [3]

Konformitas adalah kecenderungan untuk mengubah keyakinan atau tingkah laku seseorang sesuai dengan cara atau norma suatu kelompok. Konformitas terutama disebabkan oleh dua pengaruh utama yakni; pengaruh informasional dan pengaruh normatif.[4]
Pengaruh Informasional yang berupa keinginan untuk dianggap benar didasarkan pada alasan-alasan:
1. Tingkah laku seseorang kadang-kadang menyediakan informasi yang berguna.
2. Kecenderungan untuk conform yang didasari oleh pengaruh informasional tergantung dari 2 aspek :
a. Baik atau buruk info yang dimiliki kelompok menurut keyakinan kita.
b. Seberapa yakin kita terhadap penilaian pribadi kita sendiri.
3. Semakin yakin dan percaya akan info dan nilai dari kelompok maka kemungkinan besar seseorang akan semakin conform dengan kelompok.

Sedangkan pengaruh normatif yang berupa keinginan untuk disukai didukung oleh alasan-alasan;
1. Untuk mendapatkan persetujuan atau pengakuan atau menghindari ketidaksetujuan dari orang lain
2. Pengaruh normatif terjadi bila kita mengubah tingkah laku kita untuk sesuai terhadap norma atau standar kelompok
3. Conformity muncul sebagai perubahan tingkah laku di depan umum tapi tidak perlu mengubah pendapat pribadi.

Dapat disimpulkan bahwa motivasi untuk melakukan konformitas dapat berasal dari keinginan untuk benar atau keinginan untuk disukai oleh kelompok. Pengaruh informasional muncul bila seseorang tidak yakin akan respon yang benar, sehingga orang tersebut menggunakan tingkah laku kelompok sebagai pedoman untuk bertindak.

Sementara itu, pengaruh normatif muncul bila seseorang menyesuaikan diri dengan norma-noram kelompok untuk mendapatkan penerimaan atau persetujuan. Berkaitan dengan motivasi tersebut, konformitas dapat terjadi dalam situasi-situasi tertentu. Dan beberapa ciri penting dari situasi kelompok yang dapat mempengaruhi konformitas yakni; ukuran kelompok, kesepakatan kelompok, komitmen pribadi, dan keinginan akan individuasi.[5]

Konformitas dalam Pergaulan Sekolah


"Aku mau tas strawberry shortcake? 

“Kenapa?” 
“Karena Andin, Nina, dan Tyas sudah punya.”

“Kenapa kamu ikut tawuran?” 

“ Ya..kan gak enak sama teman yang lain kalau gak ikut.”



“Aku mau ikut darmawisata ke Bali mam..” 
“Tapi kita lagi tidak ada dana nak..” 
“ Yah..mama, masak cuma aku saja yang gak ikut, teman-temanku ikut semua..” 

“Kenapa kamu nyontek?” 
“Lah.. yang lainnya juga nyontek, nanti kalau gak ikutan nilainya jelek sendiri” [6]

Percakapan di atas adalah contoh percakapan yang sering kita dengar dalam kehidupan di sekitar kita. Dalam keempat situasi di atas, ada satu hal yang sama, yang melatarbelakanginya, yaitu tekanan antar teman (peer pressure). Peer pressure terjadi begitu saja, terutama saat seseorang berada dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk ‘menjadi sama’ terasa semakin besar.

Kuatnya pengaruh kelompok akan mempengaruhi perilaku dan sifat konformis terutama pada diri remaja. Remaja awal, terutama dalam lingkungan sekolah, mendapatkan pengaruh yang sangat kuat dari peer group-nya. Di dalam peer group, terdapat tekanan untuk menyamakan diri; untuk menjadi conform. Tekanan untuk menyesuaikan diri ini melingkupi banyak hal, mulai dari gaya berbicara, gaya berpakaian, selera musik, sampai dengan aktivitas yang berhubungan dengan sekolah, yaitu sikap terhadap masalah akademik.

Di samping itu, pada masa remaja awal ada keinginan yang kuat untuk berprestasi dan dibutuhkan motivasi untuk mencapainya, yang dinamakan dengan motivasi berprestasi.[7] Salah satu aspek yang mendorong motivasi berprestasi adalah lingkungan sekolah, dimana terdapat peer group dengan pengaruhnya yang kuat.

Dalam rentang waktu pendidikan formal, dihitung dari SD-SMA, selama 12 tahun seorang anak menghadapi berbagai jenis model tekanan pertemanan. Karena tidak ingin dipandang ‘beda’, banyak kasus-kasus tekanan pertemanan seperti digambarkan contoh-contoh percakapan di atas yang terjadi. Anak-anak menuntut orangtuanya untuk memenuhi permintaan mereka, supaya dapat ‘bergaya’ sama dengan temannya.

Terkadang kebutuhan untuk sama itu tidak sekedar untuk bergaya, tapi juga untuk melegalkan hal-hal yang negatif seperti tawuran, mencontek, merokok, dan penyalahgunaan obat-obatan. Alasan-alasan yang dikemukakan pada umumnya sama, yaitu “Awalnya ikutan teman” atau “Tidak enak sama teman, kalau tidak ikutan”. Dalam rantang waktu yang relatif lama itu juga, sikap konformis yang dilakukan kemungkinan besar dapat berubah menjadi pola kebiasaan dan melekat pada kepribadian seseorang anak.

Konformitas kelompok dalam pergaulan sekolah dapat memunculkan perilaku tertentu pada seorang pelajar; perilaku tersebut dapat bersifat positif maupun negatif. Perilaku negatif yang dimungkinkan muncul karena konformitas adalah perilaku agresif; seperti kerusuhan dan tawuran, mencontek, merokok, penyalahgunaan obat-obatan dan lain-lainnya. Sementara itu, perilaku positif yang dimungkinkan oleh konformitas misalnya; motivasi untuk berprestasi.

Kuatnya pengaruh kelompok dalam lingkungan sekolah akan mempengaruhi perilaku dan sifat konformis pada diri pelajar. Dan bukan suatu hal yang mustahil, sikap konformis dalam rentang waktu yang relatif lama akan menjadi bagian dari kepribadian seseorang siswa didik. Mereka terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus ‘beda’. Sikap ini dapat terus berlanjut saat anak terjun ke masyarakat. Tidak memiliki pendapat sendiri, selalu ikut suara terbanyak, tidak punya prinsip, merupakan karakteristik ‘paling parah’ para konformis.

Dari uraian di atas muncul suatu pertanyaan besar; Apa yang melatarbelakangi perilaku conform dalam pergaulan sekolah?

Teori Motivasi

Untuk menganalisa fenomena konformitas dalam pergaulan sekolah ini, tulisan ini dilandaskan pada teori motivasi. Dalam konformitas, individu dihadapkan pada situasi-situasi yang memungkinkan untuk mengarahkan tingkah laku sesuai dengan tuntutan kelompok. Di sini, nampak motivasi untuk ‘conform’ bersumber dari keinginan untuk benar atau keinginan untuk disukai oleh kelompok.

Teori motivasi yang berakar pada teori Psikoanalisa ini mempunyai ide dasar bahwa situasi-situasi dapat menciptakan atau menimbulkan kebutuhan-kebutuhan yang mengarahkan orang untuk bertingkah laku yang dapat mengurangi atau memnuhi kebutuhan. Teori-teori ini berfokus pada kebutuhan-kebutuhan atau motif-motif individu. Kebutuhan-kebuthan individu mempengaruhi persepsi, sikap dan tingkah lakunya.[8]

Motivasi ialah proses yang memberi semangat, arah, dan kegigihan perilaku. Artinya, perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah dan bertahan lama. Woolfolk (2004,358) mendefenisikan motivasi sebagai sesuatu yang memberi energi dan mengarahkan prilaku. Baron (1992) dan Schunck,1990) dalam Parsons mengatakan bahwa motivasi adalah tenaga yang memberikan kekuatan dan mengarahkan tingkah laku pada suatu tujuan. Arends mengatakan bahwa motivasi biasanya didefenisikan sebagai proses yang merangsang prilaku kita atau yang menggerakan kita untuk bertindak. Itulah yang membuat kita bertindak dengan cara kita..

Ball (1982) dalam Henson mengatakan motivasi adalah cara menjelaskan bagaimana orang digerakkan oleh suatu peristiwa, bagaimana mereka mengarahkan prilaku mereka ke arah peristiwa itu dan bagaimana mereka berhasil mempertahankan prilaku tersebut pada jangka waktu yang lama. Dengan kata lain motivasi berkaitan dengan mengapa individu tertarik dan bereaksi terhadap peristiwa yang menarik perhatian mereka. Graham dan weiner (1996, 63) mengatakan bahwa motivasi adalah kajian mengenai mengapa orang berpikir dan bersikap sebagaimana mereka bertindak. Sementra itu Elliott (2000, 332) mendefinisikan motivasi adalah keadaan internal yang menggerakan kita untuk bertindak, mendorong kita kedalam tujuan tertentu, dan membuat kita beraktivitas.[9]

Demikianlah motivasi merupakan suatu variable perantara yang digunakan untuk menerangkan faktor-faktor dalam diri individu, yang dapat membangkitkan, mempertahankan dan menyalurkan tingkah laku kearah suatu tujuan tertentu.[10] Motivasi berhubungan dengan kekuatan (dorongan) yang berada didalam diri manusia; tidak dapat terlihat dari luar dan dapat menggerakkan manusia untuk menampilkan suatu tingkah laku kearah pencapaian suatu tujuan—serta tingkah laku dapat dilandasi oleh berbagai macam motivasi—.

Motivasi Konformitas dalam Pergaulan Sekolah

Institusi pendidikan formal merupakan sarana bagi tiap individu untuk mengembangkan kemampuan diri, terutama dalam bidang intelektual. Dalam institusi sekolah, tiap individu memperoleh pengetahuan, baik kognitif, afektif, dan psikomotorik. Lebih dari itu, institusi sekolah menjadi tempat sosialisasi individu pada masyarat, pada dunianya.

Proses sosialisasi dalam institusi sekolah menghadapkan setiap individu dengan lingkungan sebaya (homogen). Dengan kata lain, Individu-individu yang homogen bersosialisasi bersama dalam institusi pendidikan. Dalam tahap ini individu mulai masuk dalam peer group-nya yang awal. Dengan begitu, Individu-individu yang berada dalam peer group tak terhindarkan dari tindakan mempengaruhi atau dipengaruhi, baik secara sengaja atau pun tidak. Di sini ­peer group menghadirkan peer pressure bagi setiap individu yang termasuk di dalamnya.

Dalam lingkungan yang homogen (sebaya), peer pressure terjadi begitu saja. Di sini hal yang dominan dalam peer presure ialah kecenderungan untuk ‘menjadi sama’ atau konformitas. Dengan kata lain di dalam peer group, terdapat tekanan untuk menyamakan diri; untuk menjadi conform. Dan nampak bahwa terutama di dalam lingkungan sekolah, individu-individu memperoleh pengaruh yang besar dari peer group-nya.

Dalam peer group, individu diarahkan untuk berprilaku ‘secara sama’ atau sesuai dengan harapan kelompok oleh peer pressure yang secara sengaja atau tidak tercipta dalam peer group. Peer pressure hadir dengan kecenderungan untuk mengarahkan prilaku yang sesuai aturan atau kebiasaan kelompok, dalam suatu upaya legitimasi identitas kelompok. Dengan kata lain, peer group dengan peer presur-nya memberikan situasi-situasi yang memungkinkan individu-individu untuk berprilaku ‘conform’. Konformitas dalam peer group dimungkinkan dengan adanya peer pressure; yang berupa dorongan untuk mengikuti norma-norma atau kebiasaan kelompok.

Dengan adanya peer pressure di dalam peer group, individu disituasikan untuk cenderung berprilaku ‘conform’. Dalam situasi tersebut, individu pada umumnya memiliki motif-motif dasar yang sama untuk melakukan penyesuaian ‘conform’, yakni: supaya benar (pengaruh informasional) dan supaya disukai (pengaruh normatif)[11]. Motif-motif tersebut menjadi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi oleh individu ketika berhadapan dengan peer group-nya. Untuk memenuhi kebutuhan-kebuthan tersebut, individu kemudian akan berperilaku ‘secara sama’ dengan kebiasaan kelompoknya atau melakukan konformitas.

Demikianlah konformitas dalam pergaulan sekolah tercipta sebagai pemenuhan motif-motif ketika individu berhadapan dengan (situasi) peer group yang hadir dengan peer pressure-nya. Pergaulan sekolah mensituasikan individu dalam peer group yang dengan peer pressure-nya menuntut ‘keseragaman’ sebagai legitimasi identitas kelompok. Dalam situasi seperti itu, individu cenderung untuk berlaku ‘conform’ dengan motif-motif; untuk benar dan untuk disukai atau diterima dalam kelompok.

Konformitas; kecendrungan atau ketergantungan?

Dalam sebuah kelompok setiap anggota tidak lepas dari kata konformitas dimana sesorang memiliki kecenderungan untuk berperilaku sama sesuai dengan norma kelompok. Demikian juga dalam institusi sekolah, individu dalam proses sosialisasi awalnya terkait dengan peer group-nya di sekolah yang sedikit banyak mempengaruhi prilaku dan pembentukan kepribadiannya.

Konformitas kelompok dalam pergaulan sekolah dapat memunculkan perilaku tertentu pada seorang pelajar; perilaku tersebut dapat bersifat positif maupun negatif. Dan dalam rentang waktu yang relatif lama, konformitas dapat menjadi suatu pola kebiasaan yang melekat dalam pribadi seorang individu.

Dalam hal ini, konformitas di satu sisi dapat memberikan suatu arahan dalam tindakan-tindakan baik yang positif dan juga negatif. Namun, di sisi lain, konformitas dapat membentuk pola kebiasaan “ketergantungan” pada kelompok; tidak mandiri, ikut arus mayoritas dan kurang rasa percaya diri serta kurang kreatif. Demikianlah konformitas dapat menjadi suatu kecendrungan dan juga sekaligus ketergantungan.

***

paruh kedua 2009


DAFTAR PUSTAKA

Adiriyak Kencana. Konfomitas; Motivasi Berprestasi ( an undergraduate theses).Jakarta: Atmajaya, 2008.
Baron, R. A dan Byrne, D. Social Psychology. Ninth Edition. Massachusetts: Allyn and Bacon, 2000.
Brigham, J. C. Social Psychology. New York: Harper Collins Publishers, 1991.
Chaplin, J. P. Kamus Lengkap Psikologi. (Terj. Kartini Kartono). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.
Sears, D. O; Freedman, J. L; dan Peplau. L. A. Psikologi Sosial, jilid 2 edisi kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1994.
Psikologi Sosial, sebuah Diktat panduan mata kuliah Psikologi Sosial, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 2009.
http//www.psigoblog.com


[1] http//www.psigoblog.com/conformity
[2] http//www.psigoblog.com/bentuk konformitas
[3] Dikutip dari dokumen power point kelompok “Pengaruh Sosial” dalam kuliah Psikologi Sosial, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 2009.
[4] Ibid.
[5] Bdk. Psikologi Sosial, sebuah Diktat panduan mata kuliah Psikologi Sosial, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 2009, Konformitas hal. 3.
[6] Contoh-contoh ini dikutip dari uraian Dita Maulin dalam www.sekolah rumah.com
[7] Bdk. Kencana, Adiriya, Konfomitas; Motivasi Berprestasi ( an undergraduate theses), Jakarta: Atmajaya, 2008.
[8] Loc.cit., Psikologi Sosial, STF Druyarka,’Psikologi Sosial dan Teori-Teorinya’ hal. 4.
[9] http//www.psigoblog.com/teori motivasi.
[10]Chaplain, J.P., ‘Motivasi’, Kamus Lengkap Psikologi (Terj. Kartini Kartono), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2002.
[11] Untuk lebih jelasnya, lihat uraian sebelumnya mengenai penyebab konformitas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t