Langsung ke konten utama

Ciri “Non-Kooperasi”, Ke-Indonesia-an Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia


Tanpa kita sadari, bangsa kita telah mencapai usia 64 tahun kemerdekaannya. Ada begitu banyak kisah yang telah tercatat dalam rentang waktu tersebut. Mulai dari perjuangan untuk mencapai kemerdekaan hingga perjuangan membangun bangsa demi suatu cita-cita yang mungkin separuhnya sudah dan sedang kita rasakan.
Jelaslah bahwa perjuangan yang dimulai dari usaha untuk mencapai kemerdekaan hingga keadaan seperti sekarang ini sangatlah berat. Begitu banyak cara dilakukan demi terwujudnya suatu masyarakat yang merdeka, adil dan makmur. Namun, tidak dapat dielakkan juga bahwa ada begitu banyak hal yang dikorbankan demi cita-cita tersebut.
Pada masa sebelum kemerdekaan ada begitu banyak usaha yang dilakukan para pejuang untuk mencapai kemerdekaan. Dari usaha yang bersifat fisik dengan melakukan pemberontakan yang bermodalkan senjata seadanya hingga usaha yang bersifat intelektual dengan propaganda pemikiran dan semangat independensi bangsa indonesia terhadap penjajah, serta mencari dukungan dari bangsa-bangsa lain. Usaha-usaha tersebut menunjukkan bahwa bangsa indonesia telah menyadari akibat yang begitu buruk yang ditimbulkan oleh penjajah. Oleh karena itu usaha-usaha ‘emansipasi’ mulai digalangkan, dan apa yang dilakukan oleh bangsa kita itu menunjukan asas non-kooperasi yang melihat pertentangan atau upaya perjuangan kemerdekaan sebagai konsekuensi logis dari penjajahan—perwujudan dari legitimasi hak asasi manusia—.
Usaha non-kooperasi tersebut mempunyai dua ciri, yaitu ciri revolusioner, yang menghendaki perubahan yang mendasar dan cepat; dan ciri modern, yang ditandai dengan upaya mengatasi kepentingan golongan, bahkan dengan kekuatan internasional.[1]

Non-kooperasi dengan ciri revolusioner[2]
Situasi politik bangsa indonesia pada waktu itu ditandai dengan persaingan dua partai besar, yaitu Serikat Islam yang diketuai oleh Tjokroaminoto dan PKI yang diketuai oleh Semaoen. Sebenarnya proses menuju upaya non-kooperatif sudah terkandung dalam kiprah kedua partai tersebut. Namun, perbedaan haluan keduanya, membuat persaingan keduanya semakin sengit, bahkan sampai muncul pertikaian.[3]
Berbagai usaha telah dilakukan agar pertikaian keduanya berakhir. Mulai dari konggres CSI di yogyakarta selama 2-6 maret 1921, hingga rapapt pimpinan PKI di Semarang, 25 oktober 1921. Namun, tetap saja perpecahan tidak bisa dihindari. Perpecahan keduanya mencapai puncak pada usaha membentuk partai tandingan di mana saja ada SI “Tjokro”.
Sejak saat itu PKI tampil sebagai pemimpin pergerakan itu sendiri, bersaing dengan organisasi lain. Namun, dalam persaingan PKI hampir selalu menjadi pemenang. Ternyata kesuksesan PKI menjadi kampiun pergerakan rakyat menimbulkan berbagai akibat yang justru menyulitkannya. Dalam kedudukan sebagai kampiun itu pemerintah menganggap PKI makin berbahaya sehingga harus ditekan lebih keras. Tekanan terhadap PKI makin keras setelah pada akhir agustus mereka melakukan demonstrasi menuntut agar dihentikan campur tangan polisi dalam kegiatan organisasi pergerakan. Konon PKI sampai meminta bantuan “Komintern”, partai komunis Belanda dan Cina. Untuk menghadapinya pemerintah mengadakan sidang istimewa Dewan Hindia pada 3 September 1924.
Yang lebih penting dari segala putusan PKI adalah persiapan diri untuk memberontak. Diserukan agar semua anggota menggalang semangat revolusioner untuk merebut kekuasaan, caranya PKI akan terdiri dari sel disetiap tempat kerja yang beranggotakan sepuluh orang. Tiap sel bergerak secara rahasia (sub rosa), sehingga hubungan antar sel hanya ada pada tingkat pimpinan. Setiap anggota sel yang sudah dianggap mampu boleh membentuk sel baru. Dan program ini didukung oleh pengikut yang mayoritas adalah kaum proletar.
Pada bulan Juni 1925 Alimin[4] menyerukan agar dilakukan pemogokan besar-besaran, namun rencana tersebut tidak sesuai dengan kenyataan. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya koordinasi antara pusat dan unit-unit. Keadaan ini tidak membuat pemerintah langsung membubarkan PKI, meskipun maksudnya untuk merebut kekuasaan sudah diketahui, hal ini disebabkan karena pemerintah tidak ingin citranya tercemar. Persoalan makin meruncing saat pemerintah menetapkan taktik yang menimbulkan peluang bagi pejabat untuk bertindak sewenang-wenang. Barang siapa mengecam sedikit pun keadaan, sudah di cap komunis, tidak peduli yang dikecam itu pemerintah atau tatanan kuno masyarakat. Kalau seseorang sudah dicap komunis maka ia dapat diperlakukan sekejam apapun.akibatnya, semakin banyak saja orang yang digiring masuk ke dalam suasana kalud, dongkol serta bermusuhan, dan selanjutnya ke dalam lingkaran revolusioner. Mereka yang sudah masuk lingkaran itu balik meneror masyarakat sekelilingnya.
Balas-membalas dengan kekerasan dalam masyarakat, dengan atau tanpa campur tangan pemerintah dan PKI, lambat laun menimbulkan kekacauan. Hal ini membuat PKI sering dirugikan dan hanya tersisa dua pilihan baginya yaitu, menggerakan kekuatan di kota dan dengan sendirinya desa akan ikut berontak; atau melibatkan desa untuk mendukung gerakan kota. Ternyata dua-duanya dilaksanakan dan hal ini nampak dalam rumusan kabur yang diajukan Darsono “kami percaya bahwa lebih baik mati karena berjuang daripada mati tanpa berjuang”.
Dengan rumusan kabur seperti itu berbegai gerakan rakyat yang mendukung PKI tersebar di seluruh nusantara. Akirnya pada tanggal 5-6 Agustus 1925 Gubernur Jendral Dirk Fock memimpin sidang Dewan Hindia mengenai peningkatan upaya pemerintah melawan gerakan komunis. Pada dasarnya pemerintah mendukung tindakan lebih keras lagi terhadap gerakan itu. Tindakan ini dibuktikan dengan pencabutan hak berserikat untuk seluruh daerah Semarang, sebagai akibat tindakan pemogokkan buruh di bawah pimpinan Mardjohan, komisaris PKI di Semarang dan penangkapan Darsono.setelah itu perjuangan PKI dilancarkan dengan gerakan bawah Tanah.
Pergerakan tesebut diiringi dengan rencana pemberontakan. Anggota inti persiapan pemberontakan dibagi tiga: prajurit yang menangani pertempuran, mata-mata untuk mengumpulkan keterangan mengenai pergerakan pemerintah dan propagandis yang yang menyusupi organisasi pergerakan lain. PKI dan semua organisasi pendukungnya harus bergerak dengan rahasia.
Walaupun semua hal dilakukan secara rahasia, namun semua rencana PKI sudah diketahui oleh dinas inteligen pemerintah, tetapi mereka menanti sampai saat terakhir untuk bertindak. Pada masanya, pemberontakan tersebut berlangsung sangat kacau dan berakhir menyedihkan. Kurangnya koordinasi daerah dengan pusat membuat pemberontakan tersebut dengan mudah diatasi.

Non Kooperasi Dengan Ciri Modern[5]
Perpecahan yang dialami oleh organisasi pergerakan kebangsaan di Hindia ternyata menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi siswa asal Hindia di Nederland. Namun, hal ini bukan berari tidak ada perbedaan prinsip di kalangan pelajar yang berasal dari Hindia umumnya. Perbedaan, bahkan perselisihan prinsip timbul juga dengan tajamnya, namun demikian semua itu rupanya saling membantu dalam meberi arah baru bagi perjuangan kebangsaan.
Pada tahun 1931 tiga serangkai pemimpin IP (Douwes Dekker, Soewardi Soerjaningrat, Tjipto Mangoenkoesoemo) di buang ke Nederland. Mereka berpengaruh pada sepak terjang Indische Vereeniging yang terbentuk pada 25 oktober 1908. Salah satu pengaruh mereka adalah tampilnya Ratulangi memimpin organisasi tersebut. Organisasi ini berupaya merangkum pandangan anggotanya yang beragam. Salah satu karya organisasi ini adalah penerbitan majalah Hindia Poetra. Pada tahun 1919 banyak pelajar baru yang berasal dari Hindia. Kedatangan mereka semakin memperkuat semangat yang pada akhirnya melahirkan Indonesische Vereeniging. Hal ini dapat dimengerti karena pelajar-pelajar tersebut sudah sadar politik. Kalau bukan pengurus, mereka merupakan anggota aktif organisasi pemuda, seperti Jong-Sumateranen Bond, Jong Java, Jong-Minahasa, Jong-Ambon. Kelompok pertama misalnya, yang tiba di Nederland pada bulan Juni 1919, terdiri dari tiga orang, yaitu Nazir Pamontjak, Alex Andries Maramis, dan Ahmad Subardjo Djojoadisoerjo.
Ketiga tokoh terebut dianggap sebagai paduan yang bagus karena mewakili setiap daerah. Bahkan ketiganya diusahakan agar menjadi pemimpin Indische Vereeniging. Usaha tersebut berhasil, bahkan setelah mereka memimpin kegiatan politik mulai diaktifkan kembali, seperti diskusi-diskusi politik.[6]
Selain ketiganya, secara berturut-turut Indische Vereeniging dipimpin oleh dr. soetomo, Hermen Kartowisastro dan Iwa koesoema Soemantri. Sejak Iwa Koesoema Soemantri menjadi ketua, Indonesische Vereeniging lebih bersifat politik, menggantikan tahap lama ketika sifat politik itu hanya tersirat.
Penegasannya terumus dalam “pernyataan asas” (beginselverklaring) yang diputuskan pada 3 maret 1923. intinya adalah: kedaulatan rakyat dalam pemerintahan bangsa Indonesia yang akan datang; percaya kepada kemampuan serta kecakapan sendiri, dan ketiga, persatuan.
Ketua Indonesische Vereeniging, Iwa Koesoema Soemantri, memberi katerangan tambahan ketika mengumumkan beginselverklaring tersebut. Menurutnya, melaksanakan asas seperti itu tak bisa lain dari pada menempuh politik non-kooperasi, istilah yang semakin termasyur ketika itu berkait dengan Konggres Nasional India di bawah pimpinan Gandhi.
Dalam praktik, kegiatan utama organisasi sesuai asas adalah mengkaji secara mendalam asas “percaya pada kemampuan serta kecakapan sendiri” dan metode pelaksanaannya. Salah satu hasil kerja keras mereka adalah gempuran Hatta (bendahara organisasi) terhdap pendapat para ahli di barat, bahwa tak ada pengisapan oleh penjajah atas hasil Indonesia. Gempuran seperti itu sebenarnya sudah umum dikalangan pergerakkan. Keistimewaan gempuran Hatta teletak pada bergesernya sifat argumen yang digunakannya dari praduga ke keilmuan (teoritik)
Jalur politik yang digariskan pada 1923 semakin dipertegas selama 1924, segara setelah terbentuk pengururs baru Indonesische Vereeniging, 9 Februari 1924. sebagai ketua baru terpilih Nazir Pamontjak, Alex Andreas Maramis sekretaris, R. Soewarno bendahara, Soekiman komisaris dan Mohammad Nazif aktivaris. Dalam rapat anggota 1 maret 1924, ketua baru, Nazir Pamontjak, mengumumkan “Pernyataan Asas” yang baru pula. Mutlaknya persatuan untuk mencapai Indonesia merdeka ditegaskan kembali. Kepercayaan pada kekuatan sendiri hendak diwujudkan dalam aksi massa, dan kemerdekaan yang hendak dicapai tidak hanya di bidang politik tetapi juga ekonomi. Bahkan majalah Hindia Poetra diubah menjadi Indonesia Merdeka.
Namun, dengan semakin masuknya masyarakat Indonesia ke dalam pergaulan internasional, makin dirasakan pula perlunya suatu sebutan, suatu nama yang khas milik masyarakat itu. Setelah melalui berbagai pertimbangan, akhirnya nama “Indonesia Merdeka” menjadi semboyan perjuangannya. Peristiwa yang paling menggemparkan adalah munculnya Buku Peringatan Indonesische Vereeniging 1908-1923, April 1924. buku tersebut bersampul bendera mera-putih dengan kepala banteng di tenganya, yang dinyatakan sebagai lambang perjuangan kebangsaan Indonesia. Penerbitan buku tersebut tidak hanya menimbulkan reaksi di kalangan pemerintah dan masyarakat Nedherland, tetapi juga dikalangan anggotanya sendiri. Namun, bagi anggota reaksi keras tersebut menandakan bahwa suara organisasi telah mulai didengar oleh pihak luar, terutama penjajah. Semakin banyak pihak penjajah mendengar, semakin bertambah keharusan mereka untuk menjawab tuntutan”Indonesia Merdeka”.
Pada 11 Januari 1925 diadakan pemilihan pengurus baru. Terpilih jadi ketua ialah Soekiman Wirjosandjojo, Arnold Z. Mononutu wakil ketua, Soeroso sekretaris I, Soenarja sekertaris II, Mohammad Hatta bendahara I, Mohammad Nazif bendahara II, Amir, Boediarto, Mohmmad Joesoef, komisaris.
Lagi-lagi, pernyataan asas (beginselverklaring) dipertegas lagi oleh pengurus baru. Asas persatuan dan tujuan kemerdekaan dikaitkan dan ditaruh dalam butir pertama. Logika perkaitan itu ialah, kemerdekaan hanya dapat dicapai dengan persatuan. Aksi massa nasional sebagai butir kedua menuntut ikut sertanya segala lapisan masyarakat dalam perjuangan kemerdekaan itu. Asas non-kooperasi sebagai butir ketiga dipertegas dengan argumen bahwa pertentangan merupakan hakikat hubungan kolonial. Asas kemerdekaan politik dan ekonomi diperluas dalam butir keempat kebidang pemulihan jiwa bangsa yang telah dirusak oleh penjajahan. Selain membahas Pernyataan Asas (beginselverklering), diputuskan juga unutk merubah nama Indonesische Vereeniging menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). PI sebagai partai politik makin menonjol setelah Soekiman Wirjosandjojo digantikan oleh Mohammad Hatta sebagai ketua pada awal januari 1926. Dalam rapat itu Hatta segera mengumumkan beberapa pembaharuan. Ia menganggap jumlah pengurus tidak lebih dari lima, asal dibantu oleh sebanyak mungkin anggota. Lagi-lagi Mohammad Hatta menghasilkan argumen perlawanan terhadap penjajahan, dengan cara dan bahasa yang setara canggihnya dengan para pendukung penjajahan . bahkan upaya memperkenalkan Indonesia di dunia Internasional dilakukan dengan sama giatnya. Hal ini dibuktikan dengan diikutsertakannya Hatta mewakilim Indonesia dalam Kongres Internasional mengenai Demokrasi dan Perdamaian di Bierville.

Non-Kooperatif: Indonesia yang Berkedaulatan Rakyat
Ada begitu banyak cara yang telah dilakukan oleh para pejuang kemerdekaan untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Salah satu cara yang digunakan oleh para pejuang kita adalah mewujudkan gerakan berasas-non-kooperasi dengan bangsa penjajah. Upaya nasional yang berasas-non-kooperasi sejatinya berintikan ‘kedaulatan rakyat’ sebagaimana terdapat dalam asas pendirian Indonische Vereeniging (beginselverklering), yaitu: kedaulatan rakyat dalam pemerintahan bangsa Indonesia yang akan datang; percaya kepada kemampuan serta kecakapan sendiri, dan ketiga, persatuan.
Dalam pemahaman akan kerangka ‘kedaulatan rakyat’ tersebut, sebenarnya para tokoh kemerdekaan kita percaya bahwa kita mampu untuk mewujudkan kemerdekaan secara total dengan upaya kita sendiri –independensi sebagai bangsa merdeka dengan rakyat yang berdaulat—di dalam berbagai bidang kehidupan.
Jiwa keindonesiaan yang ‘independen’ ini sangatlah tepat jika dikaitkan dengan kenyataan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Nusantara yang ‘pengab’ dengan ‘polusi’ politik identitas dengan multi-kepentingan-nya dan mengarah pada mewabahnya krisis kepercayaan. Kenyataan-kenyataan seperti ketergantungan kita pada dana IMF, penguasaan ekonomi oleh orang-orang asing, mafia dalam peradilan dan hukum, kasa-kusut perebutan kekuasaan dalam dunia perpolitikan, pembelian alat-alat pertahanan di negara lain, dan bahkan bangsa kita yang dikenal sebagai penghasil beras harus mengimpor beras dari negara tetangga.
Mungkin memang seharusnya, kita mundur kembali ke belakang untuk berpijak lebih mantap sebelum mengambil langkah pasti ke masa depan Indonesia yang lebih baik. Melihat dan menghargai sejarah yang menguraikan semangat keindonesiaan dalam asas non-kooperatif mungkin bisa memberi asa baru pada langit nusantara yang mulai kelam. Sehingga apa yang dicita-citakan oleh para pendahulu, penggagas, dan pendiri bangsa ini bisa sungguh terwujud: “Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan sungguh-sungguh merdeka”.
******

Oktaviano Donald
DAFTAR PUSTAKA
Antonius Padua Juwa. Membangun Keindonesiaan Para Bung, makalah pengantar diskusi. Jakarta: 2007.
Muhammad Abid Al-Jabiri. Agama, Negara dan Penerapan Syariah. Yogyakarta,: Fajar Pustaka Baru 2001.
Jimly Asshiddiqie. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
http/www.google.com/


[1] Dikutip dan dikembangkan dari makalah diskusi Antonius Padua Juwa dalam Membangun Keindonesiaan Para Bung, Jakarta, 2007.
[2] Ibid.
[3] Bdk. Muhammad Abid Al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syariah, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2001, hlm. 120.
[4] Salah seorang tokoh terdepan dalam era-awal perkembangan Partai Komunis Indonesia.
[5] loc.cit. Antonius.
[6] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 10..

Komentar

  1. selamat dtang di dunia blogger...blog lu keren no...lanjutkan...gw akan promo ke org2 ttg blog lo...GBU!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t